PROFIL LPIT AL-KHOIR

PROFIL LPIT AL-KHOIR
SEJARAH BERDIRINYA AL-KHOIR

MASJID LPIT AL-KHOIR

MASJID LPIT AL-KHOIR
MARKAZ UTSMAN DAUD

LOKAL KELAS SDIT

LOKAL KELAS SDIT
PUSAT KEGIATAN BELAJAR SISWA

RUANG PERKANTORAN

RUANG PERKANTORAN
PUSAT PENDIDIKAN AL-KHOIR

JANGAN BIARKAN HATI ANDA MENDERITA KARENA PENYAKIT HASAD

Senin, 04 Oktober 2010

JANGAN BIARKAN HATI ANDA MENDERITA

KARENA PENYAKIT HASAD


[ Penulis : Ust. Nur Kholis bin Kurdian ]


BAHAYA HASAD

Hasad (dengki) merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia, karena penyakit ini menyerang hati si penderita dan meracuninya, membuat dia benci terhadap kenikmatan yang telah diperoleh oleh saudaranya, dan merasa senang jika kenikmatan tersebut musnah dari tangan saudaranya.

Pada hakikatnya penyakit ini membawa si penderita kepada tidak ridha dengan qadha’ dan qadar Allah ta’ala, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah,” sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah ta’ala, karena ia (membuat si penderita) benci kepada nikmat Allah ta’ala atas hamba-Nya, padahal Allah ta’ala menginginkan nikmat tersebut untuknya, hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah ta’ala benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya, jadi hasad itu hakikatnya menentang qadha’ dan qadar Allah ta’ala” (1).

Manshur Al-Faqih berkata :

أَلَا قُلْ لِمَنْ كانَ لِيْ حاسداً أَتَدْرِيْ عَلَى مَنْ أَسَأْتَ الأَدَب

أَسَأْتَ عَلَى اللهِ فِيْ فَضْلِهِ إذا أَنْتَ لَمْ تَرْضَ مَا قَدْ وَهَب

Katakanlah kepada orang yang dengki kepadaku,

“tahukah kamu kepada siapa kamu tidak beradab?.

(sebenarnya) kamu tidak beradab kepada Allah ta’ala dalam pemberian-Nya

(karena) kamu tidak rela dengan apa yang telah diberikan oleh-Nya.(2)


Penyakit ini sering dijumpai di sesama teman sejabatan, seprofesi, seperjuangan, atau sederajat, oleh sebab itu tak jarang dijumpai pegawai kantor hasad kepada teman sekantornya, tukang bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada guru, orang ahli ibadah atau ustadz atau kyai hasad kepada yang sederajat dengannya. Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang berbeda kedudukan dan derajatnya, jarang kita jumpai tukang bakso hasad kepada kyai atau tukang becak hasad kepada ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.

Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap muslim, karena madharatnya sangat besar, terutama bagi si penderita baik madharat dari sisi agamanya maupun dunianya. Tidakkah kita ingat kenapa Iblis dilaknat oleh Allah ta’ala? tidak lain karena sikap hasad dan sombongnya kepada Adam alaihissalam yang sama-sama makhluk Allah ta’ala.

Dari sisi lain Hasad juga merupakan sifat sebagian besar orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana


firman Allah ta’ala :


أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ (النساء:54)


Artinya: Ataukah mereka (orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan orang-orang mukmin) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepada mereka?..”

(QS.Annisa’ 54)


Allah juga berfirman tentang hasad mereka :


وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً حَسَداً مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ (البقرة:109)


Artinya: Sebagian besar ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran…”

(QS. Al-baqarah 109).


Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang umatnya dari sifat hasad tersebut, beliau bersabda:


لاَ تَقَاطَعُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ.


Artinya: Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika bertemu dan saling membenci serta saling dengki, dan jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah ta’ala. (HR.Muslim) (3)

Allah ta’ala juga memerintahkan Rasul-Nya untuk berlindung kepada-Nya dari kejelekan orang yang hasad, firman Allah :


وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (الفلق:5)


Artinya: (Dan katakanlah wahai Muhammad, aku berlindung kepada Tuhan yang menguasahi subuh) dari kejahatan orang yang dengki ketika dia dengki.

(QS. Al-Falaq;5)


Dengan demikian telah jelas bagi kita bahwasanya penyakit hasad ini sangatlah berbahaya bagi kehidupan manusia.


SEBAB-SEBAB HASAD

Sumber dan penyebab hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan maupun pujian disisi manusia.

Dunia memang sempit, sering menyempitkan mereka yang memburu dan mencintainya, sehingga tak jarang mereka berjatuhan pada lembah hasad, karena tabiat dunia adalah tidak akan bisa dimiliki kecuali ia berpindah dari tangan satu ke tangan lainnya dan berkurang jika dibelanjakan. Berbeda dengan Akhirat, Akhirat itu luas, bak langit yang tak berujung, bak lautan yang tak bertepi, karena sangat luasnya sehingga tidak menyempitkan orang yang memburu dan mencintainya, sebagaimana kita tidak menjumpai orang berjejal-jejal untuk melihat keindahan langit di waktu malam, karena luasnya dan cakupanya terhadap setiap mata yang memandang.

Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “aku tidak pernah hasad kepada seorang pun dalam masalah dunia, karena jika dia termasuk ahli surga, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah dunia, padahal dia akan masuk surga?, dan jika dia termasuk ahli neraka, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam hal dunia, padahal dia akan masuk neraka?” . (4)

Jika tujuan seseorang adalah akhirat, maka hatinya bersih dari hasad, tenang, jernih bak air yang memancar dari mata air pegunungan, lembut bagaikan sutera, tidak ada tempat bagi hasad didalamnya, bahkan dia senang jika melihat orang lain yang semisalnya. Akan tetapi jika tujuannya adalah dunia, maka hati sangat rawan terjangkit hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh sebab itu bagi mereka yang mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya, hendaknya dia meninggalkan cinta dunia dan menggantikannya dengan cinta akhirat. Karena kenikmatan akhirat tidaklah menyempitkan orang yang memburunya, ia adalah kenikmatan yang sesungguhnya, kenikmatan yang luar biasa, tidak sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan dunia, kenikmatan tersebut bisa dirasakan oleh orang yang sangat mencintainya, mencari dan memburunya di dunia ini, jika seseorang tidak ingin memburu kenikmatan hakiki tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia bukanlah kesatria, karena yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah para kesatria. (5)


OBAT HASAD

Setelah kita mengetahui bahwa hasad adalah penyakit hati yang berbahaya, maka tentunya kita ingin mengetahui obat dan terapi hasad tersebut.

Sebenarnya penyakit hati yang satu ini tidaklah dapat diobati dengan pil atau kapsul dari apotik atau dengan suntik, herbal atau pijat urat, akan tetapi penyakit hati ini hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.


Adapun obat yang pertama adalah ilmu, ilmu yang bermanfaat untuk mengobati hasad adalah pengetahuan tentang hakikat hasad itu sendiri, diantaranya mengetahui bahwa hasad itu berbahaya bagi si penderita baik bagi agamanya maupun dunianya. Di dunia, hatinya selalu menderita dan tersayat-sayat, boleh jadi dia mati karenanya, bagaimana tidak? dia membenci orang lain yang mendapatkan kenikmatan dan mengharap nikmat tersebut musnah darinya, padahal, hal itu telah ditakdirkan oleh Allah ta’ala dan tidak akan musnah sampai saat yang telah ditentukan.

Sebagian Ahli Hikmah berkata, “Empat orang yang senantiasa berkubang dalam kesedihan, pertama; pemarah, kedua; orang yang hasad, ketiga; teman para penyair yang tidak bisa seperti mereka, keempat; orang yang bijaksana yang diremehkan manusia”. (6)

Orang yang hasad ibarat orang yang melempar bumerang kepada musuh, akan tetapi tidak mengenai sasaran, bahkan bumerang itu kembali kepadanya dan mengenai mata kanannya sampai mengeluarkan bola matanya, lalu dia pun bertambah marah dan kembali melempar kedua kalinya dengan lebih kuat, akan tetapi, bumerang itu seperti semula, tidak mengenai sasaran dan kembali mengenai mata sebelah kirinya sehingga dia buta, kemarahannya pun bertambah menyala-nyala, kemudian dia melempar ketiga kalinya dengan sekuat tenaga, akan tetapi bumerang tersebut kembali

mengenai kepalanya sampai hancur, sedangkan musuhnya selamat dan mentertawakan dia, karena dia mati sebab perbuatannya sendiri. Sedangkan di akhirat nanti, dia akan mendapat adzab dari Allah ta’ala, jika hasad tersebut melahirkan perkataan dan perbuatan, karena statusnya adalah orang yang telah mendzalimi orang lain ketika di dunia.

Perlu diketahui pula bahwa hasad juga tidak berbahaya bagi orang yang dihasad, baik bagi agamanya maupun dunianya, dia tidak berdosa dengan hasad orang lain kepadanya. Bahkan dia mendapatkan pahala jika hasad tersebut keluar berwujud perkataan dan perbuatan, sebab dia termasuk orang yang didzalimi. Kenikmatan yang ada padanya juga tidak akan musnah karena hasad orang lain kepadanya, sebab kenikmatan tersebut telah ditakdirkan untuknya.


Adapun obat kedua adalah amal perbuatan, amal perbuatan yang manjur untuk mengobati hasad adalah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad. Misalnya; jika hasad membuat anda ingin mencela dan meremehkan orang lain, maka hendaknya anda melakukan hal yang berbeda yaitu memuji orang tersebut. Kemudian jika hasad itu membuat anda sombong kepadanya, maka hendaknya anda tawaddu’ kepadanya. Jika hasad membuat anda tidak berbuat baik atau tidak memberi hadiah kepadanya, maka hendaknya anda melakukan sebaliknya yaitu berbuat baik dan memberikan hadiah kepadanya (7). Dengan seperti ini -insya Allah- hasad dihati akan lenyap dan hati kembali sehat dan normal.


HASAD YANG DIPERBOLEHKAN?

Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya, apakah benar hasad itu ada yang diperbolehkan?, jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:


لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا. متفق عليه.


Artinya: Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang, yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah ta’ala dan ia habiskan dijalan yang benar, yang kedua; kepada seseorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah ta’ala dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya. (HR.Muttafaq alaih) . (8)


Akan tetapi hasad dalam hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan diatas, hasad yang ini disebut oleh para ulama’ dengan sebutan Ghibtah yaitu menginginkan kenikmatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa benci kepada orang tersebut, serta tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.

Syeikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad hafidzahullah dalam menjelaskan hadits diatas berkata; “yang dimaksud hasad disini adalah ghibtah”. (9)

Imam An-nawawi rahimahullah mengatakan, “ghibtah adalah ingin mendapat kenikmatan sebagimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di ghibtah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubah (boleh), jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (sunnah), dan makna hadits diatas adalah tidak ada ghibtah yang dicintai (oleh Allah) kecuali pada dua perkara (yang tersebut diatas) dan yang semakna dengannya”. (10)

Dengan demikian, hendaknya seorang muslim senantiasa membersikan hatinya dari penyakit hasad dan menggantinya dengan ghibtah.

Waffaqanallahu waiyyakum lima yuhibbuhu wayardhaah.

[ Penulis : Ust. Nur Kholis bin Kurdian ]

———————-

(1) Al-Fawa’id (Hal 157 Cet. Darul Fikr – Beirut).
(2) Nihayatul Arab Fi Fununil Adab ( Juz 3/ Hal 267 Cet.1 Darul kutub al-ilmiyah – Beirut – Lebanon).
(3) Shahih muslim ( Juz 8/ Hal 10).
(4) Raudhatul Uqala’ Wanuzhatul Fudhala’ (Hal. 119 Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut).
(5) Mukhtashar Minhajul Qasidin (Hal.188-189 Cet. Maktabah darul Bayan – Damaskus) bittasharruf.
(6) Raudhatul Uqala’ Wanuzhatul Fudhala’ (Hal. 122 Cet. Maktabah Ash-riyah – Beirut).
(7) Mukhtashar minhajul Qashidin (Hal. 189-190 Cet. Maktabah darul Bayan – Damaskus) bittasharruf.
(8) Shahih Bukhari ( No. 6886 Cet.3 Dar Ibnu Katsir – Beirut. Tahqiq Dr..Mushtafa Dibul bugha) Shahih Muslim ( No. 1933 Cet. Darul jiel dan Darul Auqaf al-Jadidah – Beirut).
(9) Syarah Sunan Abu Dawud, hadits “Iyyakum walhasada” (Maktabah Syamilah 3).
(10) Al-minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnul Hajjaj (Juz. 6/ Hal. 97. Cet.2 – Dar Ihya’ Turats Al-Arabi – Beirut).

BERBURUK SANGKA DAN MENCARI-CARI KESALAHAN


BERBURUK SANGKA
DAN MENCARI-CARI KESALAHAN

(Artikel STDI Imam Syafi'i)


Allah Ta’ala Berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]

Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah seduta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata :

“Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”


Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.

Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata :

“Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.

Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa
Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata :

“Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.

Sufyan bin Husain berkata :

“Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selemat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” [Lihat Kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)]

Komentar saya :

“Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal cerdas itu. Dan jawaban di atas salah satu contoh dari kecerdasan beliau”.

Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131),

”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Beliau juga berkata pad hal.133 :

“Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.

[ Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr, Terbitan Titian Hidayah Ilahi ]